Menghadapi Stigma Gangguan Kecemasan
By: Date: 24 Maret 2021 Categories: Info Sehat
Kurangnya literasi kesehatan mental membuat stigma masih ada di masyarakat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rania (bukan nama sebenarnya) butuh waktu bertahun-tahun untuk meminta bantuan profesional demi menangani gangguan cemas yang kian menyerang. Karyawan sebuah perusahaan di Jakarta ini tidak menyadari rasa cemas yang mendadak menerpa sejak beberapa tahun lalu sebetulnya merupakan serangan panik.

“Saya kira cuma jantung berdebar-debar saja,” kata Rania kepada Antara dikutip Rabu (24/3).

Beberapa tahun terakhir, pembahasan mengenai kesehatan mental semakin banyak dan muncul keinginan untuk berkonsultasi kepada psikiater. Namun keinginan itu tak kunjung dilaksanakan lantaran dia merasa ragu dan masih ada rasa takut.

Tahun lalu, kejadian yang tidak mengenakkan di kantor sempat membuatnya tidak beranjak dari tempat tidur selama dua hari, bahkan nafsu makan pun sama sekali tidak muncul. Rambutnya rontok dan berat badannya turun.

“Akhirnya saya memaksakan ke psikiater, tapi itu juga karena bisa secara daring. Jadi saya ikut konseling pertama tahun 2020,” kata Rania yang pernah mencoba pergi langsung ke rumah sakit, tapi suasana di sana membuat rasa cemasnya menjadi-jadi sehingga memutuskan mencari bantuan secara daring.

Berkonsultasi kepada ahlinya tidak serta merta membuat gangguan cemasnya hilang, tapi gejala itu mereda meski kadang-kadang bisa kambuh kembali. Oleh karena itu, di menyayangkan bila ada respons tidak tepat ketika seseorang bicara mengenai kesehatan mental.

“Yang paling sedih itu ketika keluhan atau cerita kita tidak dipercaya oleh orang lain, bisa drop dan mungkin saja relapse,” ungkap dia.

Awalnya, orangtuanya sendiri tidak mengerti dan mempercayai bahwa buah hati mereka mengalami gangguan cemas. Gejala-gejala yang dirasakan dianggap buah dari terlalu banyak memikirkan hal sepele, bahkan karena kurang dekat dengan agama.

Lama kelamaan mereka mulai mengerti dan turut membantunya mengatasi hal ini. Stigma kesehatan mental di kantor juga masih terasa, ungkapnya. Sebelum konseling pertama, dia harus meminta surat keterangan sakit mental yang akan diberikan ke kantor tempatnya bekerja agar memahami kondisinya.

“Dokternya enggak mau langsung keluarin suratnya, saya disuruh pikir-pikir dulu karena takut saya kena stigma di kantor dan berdampak ke pekerjaan saya. Masalahnya, karena fisik kelihatan sehat, jadi orang tidak percaya kita sakit,” ujarnya.

Masalah kesehatan mental yang kini semakin bebas dibicarakan menjadi angin segar untuknya. Dulu, berobat ke psikiater dan psikolog dianggap memalukan. Tapi seiring dengan munculnya kesadaran mengenai kesehatan mental, orang-orang kini bisa lebih terbuka memeriksakan kesehatan mentalnya kepada orang yang profesional tanpa harus menutupi fakta tersebut.

“Karena sebenarnya sama saja kan, kalau kamu pusing ya ke dokter, kalau kamu merasa depresi atau cemas ya ke dokter jiwa. Kenapa harus dibedakan ke dokter yang satu lumrah, terus ke dokter yang satu lagi jadi aib?” ucap dia.

Berdasarkan pengamatan psikolog Muthmainah Mufidah, saat ini sebagian orang sudah mulai melek mengenai pentingnya kesehatan mental. Mulai banyak orang yang membaca mengenai kesehatan mental, mengikuti kelas-kelas atau bertanya langsung kepada pakar.

Dibandingkan generasi sebelumnya, saat ini semakin banyak orang yang menyadari perihal kesehatan mental. Kendati demikian, masih banyak juga orang yang belum memahami lantaran masih fokus memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan.

Masih ada orang yang tidak punya akses literasi kesehatan mental. Ketidaktahuan itu membuat stigma masih ada di tengah masyarakat.

“Atau tidak tahu harus ngapain, jadi tidak bisa menghadapi atau menanggapi orang dengan masalah kesehatan mental dengan sesuai,” kata Mufidah.

Dia menegaskan, sebetulnya kesehatan mental adalah kebutuhan dasar setiap orang sama seperti kesehatan fisik. Keduanya saling berkaitan erat. “Tidak ada sehat tanpa sehat mental.”

sumber : Antara

Let’s block ads! (Why?)