Dipuji WHO, Bagaimana Sebenarnya Cara Singapura Menghadapi COVID-19?
By: Date: 26 Februari 2020 Categories: mencegah coronavirus,Novel Coronavirus,penularan coronavirus,suspek coronavirus

Siapa sangka akhir tahun 2019 lalu ditandai dengan mulainya wabah COVID-19 yang merebak dari Wuhan, Tiongkok hingga ke beberapa negara lainnya. Penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 ini setidaknya telah menyebabkan sekitar 80.000 kasus secara global dan menelan lebih dari 2.700 korban jiwa. Setiap negara memiliki persiapan tersendiri dalam menghadapi wabah COVID-19, termasuk Singapura. 

Faktanya, Singapura termasuk salah satu negara yang cukup siap dalam menghadapi wabah COVID-19. Lantas, apa saja yang mereka lakukan?

Kesiapsiagaan Singapura dalam menghadapi COVID-19

wn tiongkok coronavirus bali

Menurut laporan dari WHO (24/2), kasus COVID-19 di Singapura sudah mencapai angka 90. Di antara puluhan kasus tersebut, 53 pasien dinyatakan sembuh. Kabar baiknya, negara yang disebut sebagai macan Asia ini belum ada pasien yang meninggal dunia akibat virus SARS-CoV-2. 

Tidak sedikit masyarakat yang bertanya-tanya, apa yang membuat Singapura memiliki jumlah korban yang cukup sedikit dibandingkan Italia, Jepang, dan Korea Selatan. 

Pasalnya, tidak sedikit warga Singapura yang sering bepergian ke daerah pusat wabah, Wuhan dan provinsi Hubei, Tiongkok. Namun, kesiapsiagaan dari pemerintah Singapura dalam menghadapi COVID-19 ternyata membantu menekan angka tersebut. 

karantina-coronavirus
WNI saat dievakuasi dari Tiongkok

Pada awal tahun, Kementerian Kesehatan Singapura mengimbau para dokter untuk mengidentifikasi pasien yang memiliki gejala pneumonia dan riwayat bepergian dari Wuhan. Selanjutnya, pemerintah mulai menyaring para turis dan masyarakat yang baru saja datang dari Wuhan. 

Status kesiapsiagaan tenaga kesehatan mulai ditingkatkan ketika mereka menemukan kasus pertama yang berasal dari turis dari Wuhan. Pemerintah mulai melaksanakan identifikasi, diagnosis, dan karantina yang cukup cekatan terkait pasien pertama. 

Bahkan, pemerintah pun melakukan pembatasan masuk pada orang yang baru saja bepergian dari Hubei untuk menghadapi COVID-19. Dari penyaringan wisatawan yang masuk Singapura tersebut terdapat sekitar 700 orang yang menjalani masa karantina. 

penyebab novel coronavirus

Persiapan menghadapi COVID-19 yang dilakukan oleh Singapura merupakan pelajaran dari pengalamannya dengan SARS. Pemerintah Singapura sadar bahwa semua kasus yang terkait dengan sindrom pernapasan akut parah perlu diisolasi dan mendapatkan dua sampel pernapasan berturut-turut untuk RT-PCR hingga menjadi negatif. 

Dengan begitu, para tenaga kesehatan mengetahui dengan pasti apakah pasien suspek COVID-19 benar-benar terjangkit oleh penyakit yang mirip dengan SARS ini atau tidak. 

Pelajaran berharga dari SARS ketika menghadapi COVID-19

tertular penyakit di rumah sakit infeksi nosokomial

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, persiapan pemerintah Singapura dalam menghadapi COVID-19 dinilai cukup baik karena belajar dari wabah SARS. 

Sejak pengalaman mereka dengan SARS tahun 2003, Singapura mendapatkan jumlah kasus yang cukup tinggi, yaitu 238 orang terinfeksi, termasuk tenaga kesehatan dan 33 pasien meninggal. 

Dari pengalaman tersebut, Singapura mencoba memperkuat kemampuannya agar dapat mempersiapkan diri dengan baik ketika penyakit menular baru muncul. Persiapan tersebut termasuk beberapa hal, seperti:

  • pembangunan fasilitas khusus untuk penyakit menular dan laboratorium kesehatan
  • menambah jumlah tempat tidur dalam ruang isolasi tekanan negatif di seluruh RS
  • membekali alat pelindung diri (APD) dan masker
  • membentuk platform untuk koordinasi antar Kementerian dan lintas lembaga
  • mengembangkan kemampuan untuk melacak kontak pasien dengan cepat dan tepat
  • menyediakan pelatihan profesional terhadap tenaga kesehatan
  • mendirikan lebih banyak laboratorium 

periksa ke dokter

Persiapan menghadapi COVID-19 yang dilakukan Singapura menuai banyak pujian, termasuk WHO. Dilansir dari akun Twitter resmi WHO, direktur jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus mengungkapkan bahwa ia terkesan dengan upaya yang dilakukan untuk menemukan kasus hingga menghentikan penularan. 

Tidak mengherankan pihak berwenang dan kerja sama dari masyarakat di Singapura dapat mengurangi risiko penularan dari COVID-19. 

Isu COVID-19 yang masih perlu dituntaskan

Persiapan yang dilakukan Singapura dalam menghadapi COVID-19 tentu berasal dari pengalaman yang cukup pahit ketika wabah SARS menyerang negara ini. 

Walaupun demikian, masih ada beberapa isu yang perlu diselesaikan terkait wabah penyakit yang bisa menimbulkan komplikasi seperti pneumonia ini. 

1. Memahami proses penularan

Salah satu isu yang masih diperdebatkan dan diperlukan dalam menghadapi COVID-19 adalah memahami proses penularannya. 

Pemahaman ini sangat diperlukan mengingat terdapat kasus yang memperlihatkan bahwa orang yang terinfeksi tanpa menunjukkan gejala pun dapat menularkan infeksi virus. 

2. Gejala awal COVID-19

mudah tertular flu

Selain pemahaman terkait penularannya, para ahli masih belum dapat memastikan gejala awal COVID-19Pasalnya, banyak masyarakat yang datang ke klinik kesehatan dengan gejala ringan dan umum, seperti:

  • batuk kering
  • sakit tenggorokan
  • demam ringan
  • malaise, tubuh terasa lemas

Akan tetapi, gejala tersebut kemudian memburuk dalam beberapa hari dan berisiko menyebabkan infeksi pernapasan akut. Jika kondisi tersebut terjadi, tentu mereka akan menjalani serangkaian tes pemeriksaan agar terlihat apakah terinfeksi virus atau tidak. 

Maka itu, para tenaga kesehatan masih perlu melakukan beberapa penelitian terkait gejala COVID-19 mirip dengan flu biasa

3. Tingkat keparahan penyakit

Mengingat gejala yang ditimbulkan oleh COVID-19 cukup luas dan mirip dengan penyakit lainnya, para ahli masih perlu memahami tingkat keparahannya untuk menghadapi wabah ini. 

Hal ini diperlukan untuk membedakan setiap pasien yang mungkin berisiko mengembangkan gejala dan penyakit yang lebih parah. Walaupun demikian, sampai saat ini beberapa laporan menyebutkan bahwa COVID-19 menimbulkan gejala yang cukup serius hingga menyebabkan kematian.

4. Pengobatan yang paling efektif

Sampai saat ini, para ahli mengujicobakan beberapa obat yang dinilai efektif untuk menghadapi COVID-19. Salah satu nya adalah pemberian kombinasi obat HIV dengan obat flu secara acak. Ada juga klaim dari peneliti Tiongkok yang menyebutkan obat antimalaria bisa jadi penyembuh infeksi virus.

Akan tetapi, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan pasien mana yang paling diuntungkan dari perawatan tersebut. Mulai dari awal perawatan dimulai hingga dinyatakan sembuh.  

5. Menemukan cara berkomunikasi yang lebih baik

Cara berkomunikasi dalam menghadapi wabah COVID-19 pun sangat diperlukan. Tidak heran masyarakat sangat khawatir terkait wabah yang dinilai begitu cepat ini.

Salah satu perbedaan antara SARS dan COVID-19 adalah kecepatan arus informasi yang didapat dari media sosial. Walaupun sangat bagus untuk memperbarui informasi, tidak jarang beberapa media mengabarkan berita hoaks dan membuat kepanikan yang lebih heboh. 

Oleh karena itu, perolehan informasi yang jelas, akurat, dan terkini dari sumber terpercaya sangat penting selama wabah berlangsung. Hal ini setidaknya berpengaruh untuk mengurangi ketakutan terhadap berita tentang wabah penyakit tertentu. 

6. Mengelola stres tenaga kesehatan

tenaga kesehatan coronavirus

Tidak hanya masyarakat yang mengalami stres akibat wabah COVID-19, tenaga kesehatan yang merawat pasien akibat infeksi virus SARS-CoV-2 pun mengalami tekanan berat. Menghadapi COVID-19 sambil bekerja di rumah sakit daerah diperlukan prosedur yang cukup rumit. 

Terlebih lagi, ketika mereka merawat rekan kerja yang terinfeksi virus merupakan satu hal yang mungkin tidak akan pernah dilupakan oleh mereka. Sementara itu, stres para dokter dan tenaga kesehatan lainnya juga diperparah ketika dijauhi karena takut menularkan infeksi. 

Efek fisik dan psikologis yang dihadapi oleh tenaga kesehatan membuat mereka membutuhkan dukungan dari pemerintah. 

7. Perkembangan vaksin COVID-19

vaksin novel coronavirus

Baik SARS, MERS-CoV, maupun COVID-19 belum ditemukan vaksin untuk mencegah penyakit ini. Tingkat penularan yang tinggi dan cepat membuat para peneliti semakin mempercepat proses pembuatan vaksin. 

Beberapa negara, seperti Indonesia dan Singapura ingin berkontribusi terhadap vaksin untuk menghadapi COVID-19. Akan tetapi, prosesnya tidak memakan waktu yang sebentar karena memerlukan sekitar satu tahun atau lebih sebelum vaksin dapat digunakan secara global. 

Maka itu, penting sekali untuk melakukan upaya mengurangi risiko terkena COVID-19 sebagai salah satu cara menghadapi wabah penyakit ini.

Baca Juga:

Let’s block ads! (Why?)