Kesehatan Mental Intai Penyintas Covid-19, Apa yang Perlu Dilakukan? – Tempo
By: Date: 4 Oktober 2021 Categories: berita kesehatan,Health,Health Info,kesehatan

TEMPO.CO, Jakarta – Pembatasan sosial serta protokol kesehatan yang ketat, membuat sebagian orang menjadi tidak nyaman dan tertekan. Akibatnya, masalah kesehatan mental pun bermunculan, mulai dari kecemasan, mudah marah, tidak bahagia, dan lainnya.

Psikolog Inez Kristanti memaparkan status kesehatan mental di Indonesia selama pandemi COVID-19. Sebuah studi dari Iskandarsyah A. (29 April 2020) dengan 3.686 responden dari 33 provinsi di Indonesia menunjukkan 72 persen partisipan dilaporkan mengalami kecemasan dan 23 persen dilaporkan merasa tidak bahagia. Inez menjelaskan gejala kecemasan antara lain kekhawatiran sesuatu yang buruk akan terjadi, khawatir yang berlebihan, mudah marah dan kesal, serta sulit merasa rileks.

“Sementara itu, gejala depresi yang dilaporkan antara lain masalah tidur, kurang kepercayaan diri, kelelahan, dan kehilangan minat,” kata Inez.

Bukan hanya pembatasan sosial yang menyebabkan masalah kesehatan mental. Para penyintas COVID-19 pun merasakan gangguan mental ini, khususnya yang mengalami long COVID. Spesialis penyakit dalam dr. Jeffri Aloys Gunawan dari GDTI mengatakan COVID-19 adalah penyakit yang memiliki efek jangka panjang.

Ada literatur yang menyebutkan setahun setelah terpapar COVID-19, hampir 50 persennya masih merasakan setidaknya satu gejala. Gejala yang dialami penyintas COVID-19 setelah 12 bulan atau lebih bervariasi, mulai dari sesak napas, cemas, depresi, lelah, dan capai. Misalnya, olahraga dengan intensitas rendah hanya sebentar membuat lelah. Sedangkan 70 persen dari yang enam bulan telah sembuh dari COVID-19 disebut masih merasakan beberapa gejala.

“Long COVID-19 adalah apabila setelah empat pekan sejak mulai merasakan gejala COVID-19 sampai dinyatakan negatif masih timbul gejala sisa. Gejala ini dapat berupa sesak napas, nyeri sendi, nyeri otot, batuk, diare, kehilangan penciuman, dan pengecapan,” ujar Jeffri.

Jeffri menjelaskan virus corona juga dapat menyebabkan aspek kognitif yang terdiri dari penalaran dan analisis mengalami penurunan. Hal ini akan sangat berdampak pada produktivitas.

“Kognitif yang terganggu akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia suatu bangsa, yang ujung-ujungnya berpengaruh pada outcome atau produk domestik bruto (PDB) suatu negara. Performa negara ini terhadap negara-negara lain akan semakin tertinggal,” jelas Jeffri.

Sebuah studi yang dipublikasikan di The Lancet pada April 2021 menemukan sepertiga pasien COVID-19 telah didiagnosis dengan gejala neurologis atau psikologis, termasuk kecemasan, depresi, gangguan stres pascatrauma (PTSD), dan psikosis, dalam enam bulan setelah tertular COVID-19.

“Paling banyak yang datang ke kami adalah yang mengalami gangguan psikosomatis dan kecemasan,” ujarnya.

Sementara itu, Ratih Ibrahim, psikolog klinis, CEO dan pendiri Personal Growth dan Sahabat Sentra Vaksinasi Serviam yang juga penyintas COVID-19 mengakui ketakutan, kengerian, paranoid, kecemasan (PTSD) tetap ada sekalipun sudah dinyatakan sembuh.

“Kesehatan mental perlu diperhatikan apabila seseorang mengalami Long COVID-19, apalagi karena mereka akan merasakan frustrasi karena gejala penyakit masih dirasakan walaupun sudah dinyatakan sembuh. Dalam perjalanan untuk sembuh dari Long COVID-19, para pasien harus mengerti bahwa ini merupakan sebuah proses,” ujar Ratih.

Ratih pun memberikan tips untuk membuat kesehatan mental kembali pulih, khususnya para penyintas COVID-19. Hal pertama yang harus dilakukan adalah latihan pernapasan secara teratur. Terapkan juga olahraga atau latihan fisik yang baik, makan makanan bergizi seimbang, mengadopsi kebiasaan gaya hidup yang baik atau sehat, serta menerapkan kebiasaan tidur teratur seperti 7-8 jam dan tidak begadang.

Seseorang dengan tingkat stres yang tinggi dapat mengalami burnout. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), fenomena burnout merupakan sindrom akibat stres kronis yang belum berhasil dikelola oleh setiap orang. Burnout mengurangi produktivitas dan menguras energi sehingga membuat orang merasa tidak berdaya, putus asa, lelah, dan cepat marah.

Jika mengalami ini dalam waktu yang lama akan berdampak pada kehidupan sosial, terutama pekerjaan, rentan terkena penyakit saluran napas atas. Oleh karena itu, sangat perlu untuk segera berkonsultasi kepada ahli jika sudah merasa membutuhkan bantuan. Konsultasi akan membantu menemukan akar penyebab stres dan mendapatkan terapi yang tepat. Konsultasi ke dokter atau psikolog kini mudah dilakukan, terlebih sejak kehadiran layanan telemedisin.

Baca juga: Meski Bekerja dari Rumah, Karyawan Tetap Perlu Cuti Panjang