Pro Kontra Rencana Vaksin COVID-19 di Indonesia
By: Date: 23 Oktober 2020 Categories: pandemi covid-19

Baca semua artikel tentang coronavirus (COVID-19) di sini.

Saat ini seluruh dunia tengah menanti-nanti ketersediaan vaksin COVID-19. Berbagai lembaga riset di seluruh dunia berlomba-lomba menyelesaikan pembuatan vaksin tersebut. Sementara sejumlah negara mulai ancang-ancang untuk membeli dan menyediakan vaksin bagi warganya. Tak terkecuali Pemerintah Indonesia yang telah mengumumkan akan melakukan imunisasi vaksin COVID-19 pada November 2020.

Saat ini setidaknya ada sembilan calon vaksin yang berada di tahap uji klinis fase III. Di antara calon vaksin tersebut, tiga di antaranya memang telah disetujui untuk digunakan secara terbatas atau penggunaan darurat. Tiga calon vaksin tersebut yakni vaksin CanSino Biologics dan vaksin Sinovach Biotech dari Tiongkok serta vaksin Gamaleya Research Institute dari Rusia. 

Namun belum satupun yang dinyatakan lolos uji klinis fase III dan siap diedarkan secara masif sebagai penangkal infeksi virus SARS-CoV-2.

Lalu, adakah risiko jika vaksin yang dinyatakan belum lolos uji klinis diedarkan secara masif? Apakah rencana Indonesia melakukan vaksinasi ini akan menyelesaikan pandemi atau justru menimbulkan masalah baru?

Rencana imunisasi vaksin COVID-19 dan protes berbagai kolegium dokter

rencana vaksin covid-19 terburu-buru yang berbahaya

Pemerintah Indonesia berencana mulai menyuntikkan vaksin COVID-19 secara bertahap mulai November 2020. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Achmad Yurianto, mengatakan akan memastikan ketersediaan vaksin untuk 9,1 juta orang Indonesia.

Sebagai tahap awal, sebanyak 3 juta vaksin akan tiba dalam dua tahap pada periode November dan Desember 2020. Vaksin ini merupakan vaksin yang diimpor langsung dari Sinovac Biotech, China bukan vaksin yang sedang digunakan dalam proses uji klinis tahap 3 di Bandung dalam naungan Bio Farma.

Sementara rencana pembelian vaksin dari AstraZeneca, CanSino, dan Sinopharm batal dilakukan karena tidak ditemukan kesepakatan bisnis. 

Vaksin dari Sinovac Biotech tersebut rencananya akan diberikan untuk tenaga kesehatan berusia 19-59 tahun dan tak memiliki penyakit penyerta (komorbid) apapun.

Rencana imunisasi vaksin COVID-19 ini dianggap terburu-buru mengingat belum ada satupun vaksin yang dinyatakan lolos semua tahapan uji. Beberapa kolegium dokter bahkan telah melayangkan surat kepada pemerintah untuk meninjau kembali rencana ini.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) dalam suratnya kepada Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) menyatakan program vaksinasi memerlukan vaksin yang telah terbukti efektif dan aman. Bukti tersebut harus melalui tahapan uji klinis yang sesuai.

“Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan waktu cukup sehingga tidak perlu tergesa-gesa sambil terus mengingatkan masyarakat untuk tetap menjalankan protokol kesehatan,” tulis PB-PAPDI, Selasa (20/10).

Selain itu, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) juga melayangkan surat serupa kepada PB-IDI. 

“PDPI Mengimbau semua jenis vaksin yang masuk ke indonesia harus melalui uji klinis pada populasi Indonesia sebelum disuntikkan ke orang Indonesia,” tulis PDPI.

Sedangkan PB-IDI secara langsung merespons ketidaksetujuan rencana ini dengan bersurat ke Kementerian Kesehatan RI. Ikatan dokter ini memberikan tiga poin rekomendasi yang patut diperhatikan dalam rencana imunisasi vaksin COVID-19 agar aman dan tidak terburu-buru. 

IDI menekankan harus adanya bukti keamanan, imunogenitas, dan keefektifan vaksin melalui hasil uji klinis fase 3 yang telah dipublikasikan.

Update Jumlah Sebaran COVID-19

Negara: Indonesia

Data Harian

381,910

Terkonfirmasi

305,100

Sembuh

13,077

Meninggal Dunia

Peta Penyebaran

Risiko penggunaan vaksin yang belum lolos uji klinis

Vaksin COVID-19 Indonesia terburu-buru

Hingga hari ini belum ada vaksin yang dinyatakan lolos uji klinis tahap 3 dan diizinkan untuk digunakan secara masif oleh WHO. Kemenkes mengatakan uji klinis tahap 3 vaksin Sinovac di Brazil sudah selesai dilakukan pada 9.000 orang.

Namun hasil tersebut masih harus menunggu uji tahap 3 selesai dilakukan pada 15.000 orang sesuai dengan rencana awal. Publikasi laporan hasil uji juga baru akan dikeluarkan bersamaan dengan hasil keseluruhan. 

“Kita melihat bahwa unsur kehati-hatian juga dilakukan di negara lain dengan menunggu data lebih banyak dari hasil uji klinis fase 3,” tulis PD-IDI.

Para ahli khawatir rencana imunisasi masif yang dilakukan mulai November ini menggunakan vaksin yang melompati langkah-langkah penting yang menjadi kunci bukti keamanan dan keefektifannya. 

Menerima imunisasi dari vaksin yang belum teruji memiliki risiko menimbulkan masalah kesehatan baru. Meski sudah lolos uji klinis tahap 1 dan 2 bisa saja terkendala atau gagal pada uji fase 3. Contohnya vaksin Astrazeneca yang selama uji klinis fase tiga setidaknya menimbulkan dua masalah.

Pertama mereka melaporkan timbulnya penyakit yang tidak bisa dijelaskan pada relawan vaksin Astrazeneca di Inggris. Kedua, ada kasus relawan vaksin meninggal yang merupakan seorang dokter berusia 28 tahun dan kemungkinan bersih dari komorbid berbahaya. Namun uji klinis tetap dilanjutkan.

Sebuah laporan yang dipublikasi jurnal medis BMJ, mengatakan rata-rata calon vaksin COVID-19 generasi pertama memiliki 30% kemanjuran saja dengan respons antibodi hanya beberapa bulan.

“Tak satu pun dari skema uji coba vaksin yang saat ini sedang berlangsung dirancang untuk mampu mendeteksi apakah vaksin tersebut berpengaruh terhadap berkurangnya angka pasien COVID-19 yang harus dirawat, masuk ICU, atau berkurangnya angka kematian,” tulis jurnal tersebut. “Juga tidak ada vaksin diteliti untuk menentukan apakah calon vaksin itu dapat menghentikan penularan virus atau tidak.”

Potensi risiko efek ADE

Apakah Vaksin Mampu Menyelesaikan Semua Masalah Pandemi COVID-19? jangan terburu-buru

Selain risiko munculnya komplikasi misterius, ada juga risiko terjadinya efek antibody-dependent enhancement (ADE). Yakni strategi virus untuk menghindari jebakan antibodi yang dibuat vaksin lalu virus akan berputar mencari jalan masuk lain.

Jika SARS-CoV-2 memiliki efek ADE maka antibodi dari vaksin justru bisa membuat virus menjadi lebih ganas karena akan masuk melalui makrofag (sel darah putih) bukan saluran pernapasan. Kondisi ini secara teoritis dapat memperburuk infeksi dari virus tersebut dan berpotensi membuat kerusakan pada sistem kekebalan tubuh (immunopathology).

Kekhawatiran adanya efek ADE ini disuarakan oleh banyak ahli, termasuk kepala Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China, Gao Fu. 

Gao Fu mengatakan bahwa efek ADE adalah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi pengembangan vaksin saat ini. “Kita harus tetap waspada dengan ADE dalam pengembangan vaksin,” ujarnya dalam acara Vaccine Summit di Provinsi Guangdong, China.

Namun saat ini belum ada referensi dari dalam atau luar negeri yang meneliti apakah ada efek ADE pada SARS-CoV-2 penyebab COVID-19. 

Guru Besar Ilmu Biologi Molekuler Universitas Airlangga, Chaerul Anwar Nidom, juga beberapa kali mengingatkan tentang kemungkinan efek ADE. Ia mengingatkan pemerintah untuk tidak terburu-buru melakukan imunisasi vaksin COVID-19. 

Menurutnya masih ada cukup waktu untuk meneliti lebih lanjut tentang data-data vaksin impor ini sebelum disuntikkan secara masif. 

Salah satu vaksin yang akan diimpor ke Indonesia mengatakan tidak terjadi efek ADE pada uji preklinik yang dilakukan pada monyet. Namun Nidom menyangsikan pernyataan tersebut karena menurutnya ada kejanggalan logika dalam laporan vaksin tersebut. 

“Indonesia mengimpor tapi jangan kehilangan data dasar. Kita sebagai negara yang menerima vaksinasi itu perlu mengulang lagi (uji) misalkan dengan model hewan yang sama,” kata Nidom dalam acara Ilmuwan Bicara di Kompas TV, Rabu (21/10). Bagaimana pendapatmu terkait rencana vaksin COVID-19 ini?

Hello Health Group dan Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, maupun pengobatan. Silakan cek laman kebijakan editorial kami untuk informasi lebih detail.

Let’s block ads! (Why?)