Serunya Bule Membatik Massal di Kain 100 Meter di Kampoeng Djadoel
By: Date: 2 Oktober 2019 Categories: Hari Batik Nasional,Kampoeng Djadoel

Suara.com – Serunya Bule Membatik Massal di Kain 100 Meter di Kampoeng Djadoel 

Hari Batik Nasional menjadi momen bersejarah bagi para bule mahasiswa yang ada di Kota Semarang. Mereka membatik massal bersama warga di Kampung Batik Semarang atau Kampoeng Djadoel, Kelurahan Rejomulyo Kota Semarang, Rabu (10/2019).

Petra (19), mahasiswi pertukaran pelajar asal Slovakia kagum dengan motif yang di torehkan dengan warna pada kuas. Sebuah motif kuno gambar hewan dan tumbuhan, warak dan daun pohon asem yang dia batik pada 100 meter kain tanpa jahit sambung yang membentang.

“Motifnya unik, ternyata ada hewan jenis warak, sampai daun asem bisa jadi motif juga,” kata mahasiswi yang kuliah di Unika Soegijapranata Semarang.

Petra juga merasa kagum, di tengah kota metropolitan Semarang, ada sebuah daerah atau kampung yang masih mempertahankan adat budaya. Terhimpit oleh gedung dan bangunan modern, mampu menunjukan identitas suatu bangsa.

“Bagus sekali, batik sudah mendunia, tapi ini daerah bisa mempertahankan budaya asli,” ucapnya.

Bule membatik massal bersama warga di Kampung Batik Semarang atau Kampoeng Djadoel. (Suara.com/Adam Iyasa)
Bule membatik massal bersama warga di Kampung Batik Semarang atau Kampoeng Djadoel. (Suara.com/Adam Iyasa)

Petra bersama rekan lainnya asyik membatik, meski tidak dengan teknik canting seperti kebanyakan asli membatik. Cukup dengan pewarna dan kuas untuk melengkapi motif pada kain yang membentang dari ujung gang pada salah satu sudut Kampoeng Djadoel.

Eko Haryanto, Ketua Paguyuban Kampung Batik Semarang menerangkan, kain sepanjang 100 meter dibuat dengan dua motif ikon Kota Semarang, warak dan daun asem. Mencerminkan arti filosofis peraturan yang ada di Semarang.

“Motif warak itu hewan mitologi imajiner. Terdiri dari tiga unsur budaya, kepala naga mewakili Cina, badan domba itu Jawa, dan leher kaki onta itu mewakili Arab. Agar tiga unsur budaya itu bersatu,” katanya.

“Motif daun asem itu asal muasal kata dari Semarang, asem dan arang. Kedua motif diciptakan oleh Ki Ageng Pandan Arang, pendiri Kota Semarang,” imbuhnya.

Sementara untuk teknis membatik, dia sengaja meninggalkan pakem yang biasanya mencanting. Dua teknik sekaligus mewarnai dia pakai yakni celup dan colet, lebih cepat dan ramah lingkungan.

“Sistem celup tujuannya memaksimalkan hanya satu kali celupan, dan sistem colet dipakai karena tidak ada limbah yang terbuang, dan bisa menghasilkan warna-warni,” katanya.

Menurut sejarah, kata Eko, batik Semarangan cukup banyak dipengaruhi oleh Cina, terutama pada warna-warni yang mencolok. Seperti warna merah dengam kombinasi merah muda dan tua yang tajam.

“Karena batik Semarang itu dipengaruhi budaya Cina, dan Cina suka yang warna cerah jadi motif dan pewarnaan membatik masal ini kita kembalikan ke tahun 1800 an kembali dengan motif klasik warna-warni,” katanya.

Selesai merampungkan membatik, kain sepanjang 100 meter itu selanjutnya akan dilakukan kembali pembatikan yang lebih sempurna. Lalu dicelup pewarnaan dan pemasakan.

“Prosesnya cukup lama, nanti kalau sudah jadi akan dilelang, tempatnya di sini juga lelangnya,” katanya di sela-sela batik massal pada kain 100 meter di Kampoeng Djadoel.

Kontributor : Adam Iyasa

Let’s block ads! (Why?)